Berdasarkan
pengamatan pada sejumlah anak, para peneliti dari Universitas California
menyimpulkan bahwa belajar musik pada usia dini dapat meningkatkan kecerdasan
(baca: kemampuan bernalar dan berpikir) dalam jangka panjang. Hasil penelitian
ini begitu menarik perhatian sehingga buku The Mozart Effect karangan Don
Campbell (1997), majalah Intisari (Februari 1997), harian London Sunday Times
(Oktober 1997), dan terakhir majalah D & R (No. 12/XXIX/8, November 1997)
merasa tergugah untuk menginformasikan kepada masyarakat.
Hasil
penelitian tersebut memang pantas untuk disimak, walaupun seperti dikemukakan
oleh musisi Suka Hardjana kepada majalah D & R bahwa hal itu sebenarnya
sudah lama diketahui orang. Melalui tulisan ini, izikanlah saya untuk
menyampaikan pandangan saya mengenai hasil penelitian tersebut dan
mengaitkannya dengan peranan matematika dalam meningkatkan kecerdasan
seseorang.
Hal
pertama yang menarik untuk dicatat adalah bahwa hasil penelitian tersebut
diperoleh secara objektif oleh Gordon Shaw dkk yang notabene adalah
fisikawan, bukan oleh para musisi. Bila seorang musisi yang menyatakan bahwa
musik itu perlu dipelajari karena bisa meningkatkan kecerdasan, orang mungkin
tidak akan percaya begitu saja, karena pernyataan tersebut dapat dinilai
subjektif.
Demikian
pula halnya bila seorang matematikawan mengatakan bahwa matematika itu penting
dan karenanya perlu dipelajari, orang mungkin akan bereaksi, "O, ya?"
dengan nada tidak percaya. Namun ketika seorang musisi seperti Suka
Hardjana menyatakan bahwa seseorang yang bermain musik sesungguhnya
sedang bermatematika dan seluruh susunan syaraf otaknya bekerja, Anda baru
sadar bahwa matematika (setidaknya melalui musik) melatih otak kita bernalar
dan berpikir, dan pada akhirnya dapat meningkatkan kecerdasan.
Matematika
dan musik memang sudah "bersaudara" sejak zaman Yunani Kuno. Pythagoras
Sebagaimana
dikemukan oleh Aristoteles (384-322 SM), Pythagoras dan para muridnya
mempercayai bahwa alam semesta ini dipenuhi oleh interval musik dan sehubungan
dengan itu mereka juga mempercayai bahwa all is number. Bagi mereka,
perbandingan dasar dalam musik yang terdiri atas bilangan 1, 2, 3, 4, yang
berjumlah 10 (yang merupakan basis sistem bilangan yang kita pakai sekarang),
adalah suci, dan musik serta teorinya merupakan salah satu dari empat kategori
dalam sains: aritmatika, geometri, musik, dan astronomi. Pada masa Plato (guru
Aristoteles), matematika dan musik tidak hanya menjadi kriteria bagi orang
cerdas tetapi juga bagi orang terdidik.
Satu hal yang menarik dan penting
untuk dicatat mengenai kehidupan Pythagoras dan para muridnya pada zaman itu
ialah kehausan mereka untuk mempelajari matematika dan filsafat sebagai basis
moral. Pythagoras sendiri diyakini telah mengawinkan kedua kata tersebut:
filsafat (love of wisdom) dan matematika (that which is learned). Pythagoras
jugalah orangnya yang telah mentransformasikan matematika menjadi suatu bentuk
pendidikan yang liberal.
Pada abad pertengahan dan zaman
Renaisance, matematika dan musik kembali mendapat tempat yang terhormat di
sekolah-sekolah di Eropa. Pada masa itu, aritmatika, geometrika, musik,
astronomi, tata bahasa, dialektika (logika), dan retorika merupakan the seven
liberal arts. Namun semua itu kini tinggal sejarah, lain dulu lain sekarang.
Musik, walaupun demikian, masih
dapat dikatakan bernasib baik bila dibandingkan dengan matematika. Setidaknya
orang hampir tidak pernah bertanya, "Apa gunanya musik?" setelah ia
mendengarkan Mozart, misalnya. Matematika, sementara itu, lebih sering dianggap
sebagai momok, dan orang pun semakin sering bertanya, "Apa gunanya
matematika?"
Di negara kita, situasinya lebih
parah lagi; di samping apresiasi masyarakat terhadap matematika masih sangat
rendah, pengajaran matematika di sekolah pun masih bermasalah. Padahal, pada
zaman yang semakin bergantung kepada teknologi menyongsong era globalisasi,
bagaimana kita dapat bersaing apabila kita tidak menguasai teknologi? Bagaimana
kita dapat menciptakan teknologi sendiri apabila kita tidak cukup menguasai
matematika dan sains, yang notabene merupakan cara bernalar dan berpikir serta
bahasa untuk memahami alam semesta ini?
Kunci jawaban untuk semua pertanyaan
ini jelas ada di sekolah. Suka Hardjana secara tegas
mengatakan bahwa kurikulum pendidikan musik di negara kita harus diperbaiki,
bahkan bila mungkin diubah total. Menurutnya, pendidikan musik itu bukan hanya
belajar bernyanyi. Bila hanya dipakai sebagai hiburan, musik bukannya
mempercerdas tetapi malah dapat memperbodoh kita.
Seiring dengan itu, kurikulum
matematika SD, SLTP, dan SLTA, yang selama ini sering dikeluhkan oleh para
orang tua murid dan juga guru di lapangan, tentunya perlu pula ditinjau kembali
dan dibenahi. Matematika bukan sekedar berhitung secara mekanis dan prosedural
(menggunakan otak kiri), tetapi juga bernalar dan berpikir secara kreatif dan
inovatif dalam upaya memecahkan berbagai masalah dan membuat segala sesuatu
lebih baik (menggunakan otak kanan).
Kurikulum yang terlalu berat ke
fungsi otak kiri dan mematikan kreatifitas dan daya inovasi murid, dan
karenanya sulit diharapkan dapat meningkatkan kecerdasan mereka. Demi
meningkatkan kemampuan berpikir siswa, keseimbangan fungsi otak kiri dan otak
kanan perlu mendapat perhatian yang serius dalam penyusunan kurikulum matematika
(dan juga mata pelajaran lainnya) pada masa yang akan datang. (580-500 SM)
seorang filsuf dan matematikawan terkenal pada zaman Yunani Kuno bersama para
muridnya menemukan bahwa harmoni dalam musik berkorespondensi dengan
perbandingan dua buah bilangan bulat. Bila kita mempunyai dua utas kawat yang
diregangkan dengan ketegangan yang sama, maka perbandingan panjang kedua utas
kawat tadi mestilah 2: 1 untuk menghasilkan nada keenam (not yang sama pada
oktaf berikutnya); 3: 2 untuk nada kelima, dan 4: 3 untuk nada keempat.
0 comments:
Posting Komentar